Teori Konstruktivisme
Menurut cara pandang teori konstruksivisme belajar adalah proses
untuk membanguin pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan.
Artinya siswa akan cepat memiliki pengetahuan jika pengetahuan itu
dibangu atas dasar realitas yang ada di dalam masyarakat. Evaluasi
pembelajaran. Dalam treori kontruktivisme, evaluasi tidak hanya
dimaksudkan untuk mengetahui kualitas siswa dalam memahami materi dari
guru. Evaluasi menjadi saran untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan
proses pembelajaran.
Konstruktivisme sebagai deskripsi kognitif manusia seringkali
diasosiasikan dengan pendekatan paedagogi yang mempromosikan learning by
doing. Teori ini memberikan keaktifan terhadap manusia untuk belajar
menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau teknologi, dan hal lain
yang diperlakukan guna mengembangkan dirinya sendiri.
Menurut asalnya, teori konstruktivime bukanlah teori pendidikan.
Teori ini berasal dari disiplin filsafat, khususnya filsafat ilmu. Pada
tataran filsafat, teori ini membahas mengenai bagaimana proses
terbentuknya pengetahuan manusia. Menurut teori ini pembentukan
pengetahuan terjadi sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas yang
dihadapinya. Dalam perkembangan kemudian, teori ini mendapat pengaruh
dari disiplin psikologi terutama psikologi kognitif Piaget yang
berhubungan dengan mekanisme psikologis yang mendorong terbentuknya
pengetahuan. Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif
siswa mengkostruksi pengetahuan. Proses tersebut dicirikan oleh beberapa
hal sebagai berikut:
- Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi makna ini dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
- Konstruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus-menerus seumur hidup.
- Belajar bukan kegiatan mengumpulkan fakta melainkan lebih berorientasi pada pengembangan berpikir dan pemikiran dengan cara membentuk pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil dari perkembangan melainkan perkembangan itu sendiri. Suatu perkembangan yang menuntun penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
- Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skemata seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi disekuilibrium merupakan situasi yang baik untuk belajar
- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik dan lingkungan siswa.
- Hasil belajar siswa tergantung pada apa yang sudah diketahuinya.
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah suatu proses organik untuk
menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanis untuk mengumpulkan fakta.
Dalam konteks yang demikian, belajar yang bermakna terjadi melalui
refleksi, pemecahan konflik pengertian dan selalu terjadi pembaharuan
terhadap pengertian yang tidak lengkap.
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut dapat ditarik sebuah inferensi
bahwa menurut teori konstruktivisme belajar adalah proses mengkonstruksi
pengetahuan dengan cara mengabstraksi pengalaman sebagai hasil
interaksi antara siswa dengan realitas baik realitas pribadi, alam,
maupun realitas sosial. Proses konstruksi pengetahuan berlangsung secara
pribadi maupun sosial. Proses ini adalah proses yang aktif dan dinamis.
Beberapa faktor seperti pengalaman, pengetahuan awal, kemampuan
kognitif dan lingkungan sangat berpengaruh dalam proses konstruksi
makna.Argumentasi para konstruktivis memperlihatkan bahwa sebenarnya
teori belajar konstrukvisme telah banyak mendapat pengaruh dari
psikologi kognitif, sehingga dalam batas tertentu aliran ini dapat
disebut juga neokognitif.
Walaupun mendapat pengaruh psikologi kognitif, namun harus diakui
bahwa stressing point teori ini bukan terletak pada berberapa konsep
psikologi kognitif yang diadopsinya (pengalaman, asimilasi, dan
internalisasi).melainkan pada konstuksi pengetahuan. Konstruksi
pengetahuan yang dimaksudkan dalam pandangan konstruktivisme yaitu
pemaknaan realitas yang dilakukan setiap orang ketika berinteraksi
dengan lingkungan. Dalam konteks demikian, konstruksi atau pemaknaan
terhadap realitas adalah berlajar itu sendiri. Dengan asumsi seperti
ini, sebetulnya substansi konstrukvisme terletak pada pengakuan akan
hekekat manusia sebagai homo creator yang dapat mengkonstruksi
realitasnya sendiri.
IMPLIKASI TEORI BELAJAR TERHADAP EVALUASI PENDIDIKAN
Teori Konstruktivisme
Teori konstruksivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus
bersifat kolektif atu kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus
bisa diwujudkan. C. Asri Budiningsih dalam buku Pembelajaran Moral
menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat ditentukan oleh peran
social yang ada dalam diri siswa. Dalam situasi sosial akan terjadi
situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku
dan sikap diantara sesame manusia. Konsekuensinya, siswa harus memiliki
keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara cepat.
Bagi kaum konstruktivis, mengajar bukanlah kegiatan memindahkan
pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu penciptaan suasana
yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar
berarti partisipasi aktif guru bersama-sama siswa dalam membangun
pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan
mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah belajar itu sendiri.
Menurut prinsip konstruktivisme, guru berperan sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan sebagaimana
mestinya. Sebagai fasilitator dan mediator tugas guru dapat dijabarkan
sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung
jawab dalam merencanakan aktivitas belajar, proses belajar serta hasil
belajar yang diperolehnya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa memberi
kuliah atau ceramah bukanlah tugas utama guru.
Memberikan sejumlah kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan mendorong mereka untuk meng-ekspresikan gagasan-gagasannya serta mengkomukasikan-nya secara ilmiah;
Memberikan sejumlah kegiatan yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan mendorong mereka untuk meng-ekspresikan gagasan-gagasannya serta mengkomukasikan-nya secara ilmiah;
b. Menyediakan sarana belajar yang merangsang siswa berpikir secara
produktif. Guru hendaknya menciptakan rangsangan belajar melalui
penyediaan situasi problematik yang memungkinkan siswa belajar
memecahkan masalah
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan tingkat perkembangan
berpikir siswa. Guru dapat menunjukkan dan mempertanyakan sejauh mana
pengetahuan siswa untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengan
pengetahuan yang dimilikinya. (Ditulis Oleh Drs.Agustinus Maniyeni, M.Pd
– Dalam buku “Wawasan Pembelajaran” halaman 1-15)
Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat
temporer, selalu berubah dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan
pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif dan
refleksi dan interpretasi. Seseorang yang belajar akan memiliki
pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pengalamannya dan
persepektif yang didalam menginterprestasikannya.
Teori ini lebih menekankan pada diri siswa dalam penyusun pengetahuan
yang ingin diperoleh oleh siswa tersebut. Teori ini memberikan
keaktifan terhadap siswa untuk belajar menemukan sendiri kompetensi,
pengetahuan atau teknologi, dan hal lain yang diperlakukan guna
menggembangkan dirinya sendiri.
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
Adapun tujuan dari teori ini adalah sebagai berikut:
- Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
- Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaanya.
- Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
- Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
- Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Konsep evaluasi pendidikan hampir sama dengan konsep pada teori kognitivisme yaitu menitikberatkan pada proses. Proses yang dimaksud disini merupakan sebuah pengalaman yang dialami sendiri oleh masing-masing siswa (penyusunan pengetahuan oleh siswa itu sendiri).